DASAR REVOLUSI MENTAL, TAK BEREVOLUSI
Yusriah Ulfah Winita
Setelah Presiden Republik Indonesia menggunakan istilah ‘Revolusi Mental’ setahun silam, frasa tersebut menjadi sesuatu yang marak diperbincangkan. Tidak hanya di kalangan Politikus dan Pejabat Negara, melainkan telah merambah dunia masyarakat biasa, tak terlepas kaum pelajar. Tanggapan mengenai Revolusi Mental pun mulai mencuat. Sehingga menimbulkan banyak spekulasi. Meskipun begitu, istilah tersebut bukanlah hal baru, karena Presiden Pertama RI, Soekarno, malah telah menyuarakannya pertama kali bertahun lalu.
Terlepas dari spekulasi mengenai Revolusi Mental sendiri, ada beberapa hal yang perlu diulas kembali. Baik mengenai tujuan dari Revolusi Mental, ataupun dampak dan proses daripadanya. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, aspek epistimologi ada baiknya dipahami terlebih dulu. Hal ini berguna untuk memahami makna sebenarnya istilah tersebut.
Revolusi Mental berasal berasal dari dua kata, yaitu ‘revolusi’ dan ‘mental. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), revolusi dapat diartikan sebagai suatu perubahan baik mengenai ketatanegaraan, suatu bidang tertentu, ataupun peredaran bumi terhadap matahari. Sedangkan mental dapat diartikan sebagai hal yang bersangkutan dengan batin dan watak manusia. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa Revolusi Mental merupakan sebuah perubahan batin dan watak manusia.
Sasaran penerapan Revolusi Mental di Indonesia bertujuan memperbaiki moral bangsa. Tak diyana, maraknya korupsi, bentrokan, perampokan, kenakalan remaja, dan lain sebagainya menjadi objek dari Revolusi Mental. Lebih tepatnya adalah pelaku perilaku tersebut. Revolusi Mental diharapkan mampu memperbaiki moral bangsa yang sangat memprihatinkan saat ini. Namun, sejauh ini belum ada hasil memuaskan dari pencetusan kembali istilah tersebut. Jika ditelaah lebih lanjut, tentu ada beberapa faktor yang mempengaruhi lambatnya proses itu. Salah satu kemungkinan adalah tidak kuatnya landasan Revolusi Mental sendiri.
Sebagai perbandingan, dalam kajian filsafat terdapat cabang yang dikenal dengan istilah ontologi yang mengkaji eksistensi atau keberadaan. Seperti keberadaan Tuhan dapat dilihat dari ciptaan-Nya. Sebelum lahirnya opini tersebut, para filsuf tentu telah melakukan tafakur terhadap realita kehidupan. Semua makhluk hidup maupun benda mati, serta alam dan seluruh jagad raya tentu ada karena ‘sesuatu’. Dan sesuatu itu tentu bukan hal yang biasa. Dan bukan hal biasa itulah Tuhan, yang Dzat-Nya tak mampu lagi terjangkau oleh akal manusia.
Kembali ke Revolusi Mental. Penyebab belum teraplikasinya tujuan dari hal tersebut bisa jadi disebabkan oleh pondasi yang tidak kuat. Dasar pembangunannya rapuh, sehingga sulit mengaplikasikan. Jika dikaitkan dengan bahasan filsafat di atas, seharusnya Revolusi Mental dibangun berdasar sesuatu yang tidak berevolusi. Dan sesuatu yang tidak berevolusi itulah al-Qur’an. Al-Qur’an berisi wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad melalui perantara Malaikat Jibril. Dan bukankah Allah telah menjamin al-Qur’an akan terus terjaga hingga akhir? Artinya isi dan kandungan al-Qur’an tidak akan berubah.
Berdasarkan pembahasan di atas, penanaman nilai-nilai moral dari al-Qur’an terhadap bangsa tentu mampu mengubah watak dan batin secara perlahan-lahan. Keindahan bahasa dan makna isi al-Qur’an sendiri mampu menggetarkan jiwa. Manakala jiwa telah tergerak berubah menuju kebaikan, maka watak atau perilaku akan mengikut dengan sendirinya. Saat itulah Revolusi Mental telah terwujud.
Bukan hanya itu, melainkan juga keberterimaan antara makna al-Qur’an dengan logika. Banyak penelitian dewasa ini yang mengkui kandungan al-Qur’an tidak hanya mencakup satu bidang saja melainkan seluruh sendi kehidupan. Bahkan ada ayat-ayat tertentu dalam al-Qur’an ketika dibaca, jin pun ikut bersujud. Jadi, bagaimana dengan manusia yang merupakan makhluk paling sempurna?
4/
5
Oleh
Unknown
Memberikan komentar yang sopan
Tidak mengandung SARA/Porno
Menggunakan Bahasa yang mudah di pahami