Sunday, 7 June 2015

Aishe, Lady Of Palestine

12 April 2009
Kepada-Nya  yang selalu mendekapku.
Keringatku terus bercucuran. Ruang ini begitu sempit, begitu sesak. Sebuah ruangan tak lebih dari 2 kali 3 meter di bawah tanah. Kami tak dapat banyak bergerak di bawah sini, selain ruangan yang begitu sempit, kami juga harus menyembunyikan diri dari orang-orang jahat yang akan menyerang kami. Entah apa yang terjadi di atas, takbir begitu keras menggema di antara suara tembakan. Mungkinkah kami dapat menang hari ini? Semoga ya Rabb. Ry… aku sangat takut di sini! Bagaimana bila orang-orang itu tahu kalau kami bersembunyi di sini? atau jangan-jangan kami akan mati dengan kehabisan oksigen? Ya Rabb kami butuh pertolonganmu. Entah sudah berapa hari kami bersembunyi di bawah sini, bersembunyi di bawah parit yang tertutupi. 

13 April 2009
Kepada-Nya yang selalu mendekapku.
Allahu musta’an Abi memutuskan untuk bergabung dalam rombongan yang akan membantu mujahidin lainnya di atas sana, apa yang harus aku perbuat Ry?  Aku sangat hawatir dengan Abi. Ia begitu azam dengan janjinya, akan menyelamatkan tanah leluhur kami, tanah yang begitu diberkati, tanah para nabi. Aku akan mendoaknmu Abi! Allah pasti memberikan kemenangan ini buat kita.

Ia akan keluar dari tempat persembunyian ini di malam hari, bersama para mujahidin lainnya. Kulihat Abi masih berzikir, sesekali ia melantunkan Qalam Ilahi dengan suara yang pelan. Ada gelora di bulatan matanya, sangat jelas kulihat.

Aku masih ingat saat pertama kali Abi menghadiahkan buku tulis ini padaku. Bahagia rasanya, di lingkungan kami, mendapatkan makanan sangatlah susah terlebih lagi mendapatkan sebuah buku. Kata Abi buku ini pemberian dari relawan yang pernah memberikan bantuan pada warga kami, dan Abi menghadiahkannya padaku saat aku berhasil menghafal Al-Quran tepat di bawah dua belas tahun. Bagi warga kami, mampu menghafalkan Qalam ilahi ada sebuah kehormatan dan kemuliaan bagi kami. Hampir seluruh warga menghafalnya.

Senja telah kembali di peraduannya. Sedikit lagi Abi akan bergerak bersama mujahidin ke medan jihad. Aku memeluknya dengan kuat, mata ini berarir dan tak mampu menahannya. “Allah akan selalu berada disisi kita. Ingatlah bahwa darah Abi telah mengalir dalam dirimu, kuharap kau mampu bersabar dengan semua ini.  Kita akan pasti menang anakku! Abi akan selalu mencintaimu, Assalamualaiakum” hanya suara itu yang kudengar saat melepasnya pergi. Sungguh, kuharap Abi dapat kembali.

20 April 2009
Ry… aku ingin bertemu dengan Abi. Sudah sepekan aku tak mendengar kabarnya, tapi kudengar para pasukan mujahidin berhasil merebut beberapa wilayah di bagian barat daerah kami. Semoga Abi salah satu yang terselamatkan. 

Alhamdulillah, relawan akhirnya datang juga. Kami sangat bersyukur ternyata masih ada orang yang peduli dengan kami. Kupikir aku, kakakku dan warga kami akan mati seperti di daerah lainnya, mati kelaparan. sekulum senyum dari kami, dan doa terus mengalun indah di antara warga kami.
Kulihat kepala pemimpin kami berunding dengan dua, tiga orang dari relawan. Entah apa yang ia katakan, tapi wajah Ahmed pemimpin kami meneteskan air mata. Beberapa menit kemudian ia menemui kami. Ia tertunduk lesu, matanya berkaca-kaca, dan tangannya kanannya memasukkan Qur’an ke saku atas bajunya.

Ry… kami harus berangkat dari sini. Kata pak Ahmed memutuskan tadi sore. Daerah ini sudah sangat tak aman. Ia menghawatirkan kami bila masih terus bertahan di tempat ini. Beberapa daerah telah dikuasi oleh biadab-biadab itu, dan penduduk muslim dibantai tak mengenal ampun.

21 April 2009
Semua telah berkumpul di bawah langit malam ini. begtu dingin hingga menusuk tulangku. Bulan tak nampak di malam ini, mungkin ia sedih melihat kami. Sebuah tragedi kemanusiaan yang tak dipedulikan oleh dunia. Dimana kalian? Kata Abi orang-orang muslim memiliki ukhuwah yang erat, dan tak dapat dipisahkan. Namun, kemana kalian? Apakah kabar kami tak sampai padanya, ataukah ada yang lebih penting dari saudara-saudara muslimnya yang  dibantai, diperkosa dan dihujami rudal-rudal setiap detik. Miris, hanya segelintir yang dapat melihat kami.
Setapak demi setapak kami berjalan. Menyusuri kegelapan dengan lentera seadanya. Kak Yasser, satu-satunya keluarga yang kupunya harus tinggal di pemukiman kami bersama beberapa pemuda dan orang tua. Katanya, ia adalah pejuang-pejuang Palestine, tak mengenal lelah dan tak mengenal putus asa karena Allah selalu bersamanya. Aku memeluknya dengan erat, sangat erat. Ia berbisik “Jadilah mujahidah Palestina dan tegakkan Agama Allah di mana pun bumi kau pijak. Kau tak usah menungguku, aku bahagia bila syahid di medan jihad. Kuharap kau berbesar hati, Aishe!” air mataku kembali berjatuhan.

1 Mei 2009
Aku tak bisa terus begini, Ry. Biadab-biadab itu kembali menyerang kami. Sudah puluhan warga tewas akibat serangannya, termasuk pemimpin kami pak Ahmed. Keputusanku kini bulat, aku akan pergi bersama mujahidin dan mujahidah lainnya malam ini. Ini adalah jalan satu-satunya yang harus kutempuh. Ini tanah kami, negeri kami. Mereka tak berhak mengambilnya. Kuharap penderitaan kami akan berakhir. Juga, kuharap buku diary ini akan ditemukan oleh para relawan dan mampu menggugah hati saudara-saudara seiman kami. Mendoakan kami. Allahuakbar aku akan menyusulmu Abi, Umi, dan kak Yasser.

***


“FREEDOM PALESTINE” Berita itu mengudara beberapa tahun ini. seluruh media massa tak ketinggalan memberitakannya. Ormas, organisasi kemanusiaan, dan tak pula organisasi dakwah turut serta dalam mengampanyekan kebebasan Palestina.

“Sungguh kisah yang tragis.” Batinku membisik. Teman-teman meneteskan air mata saat membacanya. Sebuah diary wanita Palestina dalam mempertahankan kehormatan negaranya yang tersebar luas di media internet dengan nama ‘Aishe Lady of Palestine’.

Oleh : Fathul Khair Tabri

Related Posts

Aishe, Lady Of Palestine
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.

Memberikan komentar yang sopan
Tidak mengandung SARA/Porno
Menggunakan Bahasa yang mudah di pahami