Rembulan Masih Merah di Kota Ramallah
Oleh : Fathul Khair Tabri
Kulihat sebuah roket melaju begitu gesit disertai kepulan asap menembus awan kota kami. Meledakkan bangunan tinggi yang masih tersisa. Seluruh wanita berlari meninggalkan tempat itu. Di sudut kota lain terlihat jalanan masih padat. Terlihat demonstran yang menuntut haknya sepanjang jalan ini. Buruh-buruh tumpah ruah di jalan. Anak-anak menangis diatas tubuh orang tuanya yang telah tiada. Malam ini adalah malam yang panjang.
Petikan mentari masih sedikit menyambar kota kami. Tak ada yang begitu istimewakulihat, hanya setumpuk puing-puing bangunan yang berserakan, tanah yang tandus, dan orang yang mengerumuni mayat-mayat akibat peristiwa semalam. Aku tak pernah tahu mengapa negeriku ini tidak adil bagi kami. Oh, aku salah! bukan negeriku yang membuat kami seperti ini. Tapi merekalah yang hidup dengan hedonisme mereka sendiri hingga melupakan kami, sibuk dengan jabatan dan ambisimereka, dantentu saja sibukdengan ego mereka.
"Umma! kenapa wajah umma terlihat lebih pucat, dan tubuh umma jauh lebih kurus dari yang dulu?" tanya seorang bocah.
"Nak! lihat wajah umma, umma jauh lebih baik saat ini, umma sehat." jawabnya singkat, dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
Surya mulai meninggi. Langit-langit masih menggantung, dan pohon mulai nampak mengering. Kulihat, bocah itu terus memeluk ibunya. Hanya suara kecil yang kudengar, bisikan angin Terus menerpa wajahku.
"Umma! dimana aba? kenapa sejak enam hari yang lalu ia tak kembali?"tanya bocah kecil itu yang berumur kisaran sepuluh tahun.
“Aba pergi mencari bantuan Yahfiz, di tempat yang indah, tempat yang selalu di rindukan oleh orang-orang”balas ibunya.
Di bawah tenda tua berwarna biru, bocah itu terus bertanya tak henti-hentinya.
Tiba-tiba terdengar suara ledakan dari jarak ratusan meter dari tenda pengungsian, dentuman besar menyambar di telinga orang-orang di siang hari. Angin menerbangkan debu begitu cepat, kepulan asap menyeruak memenuhi tenda-tenda pengungsian. Ratusan orang berlari menyelamatkan diri. Terdengar suara hentakan sepatu ratusan serdadu.
Dari jarak jauh, timah timah emas menembus tubuh rakyat sipil. Jeritan-jeritan mulai terdengar.Ratusan rakyat sipil mengambil senjata yang ia simpan. Wanita mengambilbatukerikil,berbaris di belakang mujahidin, melempar dengan sekuat tenaga. Takbir memenuhi langit-langit Ramallah .
Bocah itu berlari di belakang ibunya, tak ada sedikitpun rasa takut yang tergambar di wajahnya.
"Yahfizz! Larilah nak! Idzhab ilal wilayatil gorbiyyati Selamatkan dirimu. Allah selalu bersamamu." Teriak ibu sang bocah tadi.Air mata tertumpah ruah di medan jihad.
Bocah ituberlaridanterus berlari."Aba...Aba... tolong umma!" Teriaknya penuh ketakutan.
Tak ada yang memperdulikannya, semua orang sibuk menghadang tentara zionis. Truk-truk datang silih berganti menawan orang-orang yang dianggap pemberontak.
"Ini tanah kami! Ini tanah kami!" Ucap seorang pemuda saat diseret menuju truktersebut. Darah mengalir di pelipis matanya.
Tank-tank menorobos di tengah blokade massa. Tembakan menjadi membabi buta. Satu, dua, orang –orang tumbang seketika. Darah mengalir deras di balik bajunya, menggenang seketika di bawah langit.
“Takbiiir...Takbir... AllahuAkbar”
Terdengar suara di balik wajah seorang lelaki tua, debu memenuhi wajahnya.
Siang ini, Ramallah terlihat lebih menakutkan.
Bocah itu terjatuh dan tak sadarkan diri. Siang itu begitu menyengat, sangat menyengat. Bocah itu terbangun di bawah tenda putih yang berada tepat di atasnya. ia melihat orang-orang terluka di sekelilingnya. Kapas-kapas menyerap darah yang keluar dari robekan pergelangan tangan orang yang berada disampingnya. Bocah itu tahu kalau ia telah selamat.
Seseorang berseragam putih datang menghampirinya. “kau beruntung dapat selamat nak!” ucap seorang relawan kemanusiaan itu.
“Bagaimana dengan umma! Tolong dia. aku mohon, Izinkan aku pergi kesana,” Bocah kecil itu berkata.
“Kalla! hunaka khatr, yumkinuka tadhar . Semua tempat disana sudah hancur akibat rudal-rudal yang terus menghantamnya.
***
"Yahfiz!"
Seseorang menyentuh lenganku. Itu istriku, Aisyah. Ia menyadarkanku dari lamunan panjang di depan perkuburan massal di kota Ramallah.
Di depan batu nisan ini, aku terus memandang foto tua keluargaku yang masih tersisa.
Aku mestinya tahu, bahwa saat ibu mengatakan Ayah mencari bantuan, ia telah tiada, tewas bersama mujahidin lainnya. Seribu penyesalan hinggap di pikiranku, aku tak mampu melindunginya, wanita terhebat yang kupunya, umma.
Aku tetap berdiri di samping istriku. Aku tak sanggup membendung air mata ini. Bibir ini keluh, diam seribu bahasa.
“Pasti ia bangga denganmu, bocah tangguh yang ia lahirkan.”ucap Aisyah menenangkanku.
Ibu mati di saat aku mencari ayah. Di medan jihad, dua puluh tahun yang lalu. Wanita tangguh penuh semangat, dengan batu ia berjihad. Kau yang terhebat,umma.
Bisikan angin terus menerpa wajahku. Sekuntum bunga kutaruh di atas tanah makam yang telah lama mengering.
Rembulan Masih Merah di Kota Ramallah
4/
5
Oleh
Unknown
Memberikan komentar yang sopan
Tidak mengandung SARA/Porno
Menggunakan Bahasa yang mudah di pahami